Logo

 

PEREMPUAN MANDIRI

Kumpulan Artikel Tentang Perempuan Indonesia

Selamat datang pengunjung, bila Anda memiliki pertanyaan atau komentar terkait blog ini, silahkan submit melalui link komentar yang ada di bagian bawah setiap halaman, Terimakasih, Nurul
skip to main | skip to sidebar

Perempuan Mandiri

Women Perempuan Wanita Empowerment Pemberdayaan Penguatan Feminisme Feminist Female Kesetaraan Equality Independent Mandiri Emansipasi Emancipation Patriarch Patriarchy Kepala Keluarga Subordinat KDRT Korban Victim IWD HPI PUK APP Jaringan

     
 
<< Table Of Content
Makalah Tentang Perempuan
*Gambar bukan cover tetapi merupakan ilustrasi
fitur makalah perempuanmandiri.blogspot.com


KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN & TATANAN PATRIARKI
Maria R. Roewiastoeti, SH
Copyright © Sarasvati

Tentang Penulis

Faktor-faktor yang melestarikan kekerasan thd perempuan

Faktor pertama, rumusan hukum pidana nasional Indonesia (KUHP 9) menetapkan bahwa hanya "kekerasan fisik" saja yang bisa disebut kejahatan. Artinya, tindak kekerasan maupun ancaman kekerasan yang bersifat nonfisik tidak tercakup disitu. KUHP juga menyangkal dan tidak mengakui pemaksaan hubungan sexual dalam relasi perkawinan sebagai sebuah kejahatan. 10

Sampai saat ini masyarakat maupun pembuat undang-undang masih terkungkung oleh mitos bahwa rumah kediaman keluarga adalah wilayah paling aman bagi perempuan. Padahal kenyataan telah muncul gejala baru dimana keluarga berkembang menjadi salah satu institusi kekerasan yang berbahaya. 11 Rumah kediaman dan keluarga juga telah dinyatakan sebagai tempat dalam masyarakat dimana tindak kekerasan paling sering dan paling mungkin terjadi. 12

Ketentuan hukum yang sangat terbatas itu juga melemahkan dan menyulitkan apparatus penegak hukum (polisi) dalam melakukan perlindungan dan penjaminan rasa aman bagi semua orang, khususnya perempuan dan anak-anak di wilayah privat atau domestik.

Faktor kedua, rumusan hukum pidana yang terbatas itu masih diperlemah lagi oleh kinerja apparatus penegak hukum (polisi) yang tidak peka terhadap pengalaman dan kebutuhan korban kekerasan (perempuan dan anak-anak). Para polisi masih sering kebingungan jika dihadapkan pada tindak kekerasan domestik (KDRT) yang menimpa perempuan. Ketidakpekaan ini antara lain juga disebabkan oleh tradisi masyarakat yang meyakini bahwa lelaki (sebagai kepala keluarga) adalah penguasa mutlak di dalam rumah tangganya sendiri. 13 Selain tidak peka, polisi terikat oleh aturan yang hanya membolehkannya bertindak sesudah ada pengaduan dari si korban kekerasan, karena seturut KUHP kejahatan dalam lingkup rumah tangga merupakan suatu delict aduan (artinya: baru bisa disebut kejahatan bila sudah diadukan, pen). 14

Faktor ketiga, dengan pelbagai alasan yang berbeda-beda kebanyakan perempuan korban KDRT enggan mengadu kepada polisi, apalagi membawa persoalan ini ke pengadilan: (1) tidak ingin membuka "aib" keluarga sendiri, (2) ada ketergantungan finansial pada lelaki pelaku kekerasan tersebut, (3) tidak yakin polisi akan bertindak tegas dan tuntas terhadap pelaku kekerasan, (4) berkompromi demi "keutuhan" keluarga dan nasib (masa depan) anak-anak yang belum dewasa, (5) berusaha keras mengampuni pelaku kekerasan dan mengharapkannya bertobat, (6) terpaku pada suatu kewajiban moral tertentu untuk tetap mempertahankan ikatan perkawinan, serapuh atau serusak apapun ikatan itu 15, (7) takut pada ancaman sang pelaku, (8) takut diremehkan dan kehilangan penghargaan sosial akibat kehilangan atau ditinggalkan suami. 16

Perempuan yang hidup, dididik dan dibesarkan dalam masyarakat bertatanan (sistem nilai) patriarki akan tumbuh menjadi makhluk tak berdaya, kurang percaya diri, bergantung pada lelaki serta meneruskan (traditio) suatu keyakinan (ideology) yang memandang perkawinan sebagai kewajiban dan pencapaian hidup. Kalau perempuan-perempuan seperti ini mengalami kekerasan dalam relasi perkawinan biasanya mereka cenderung tetap mempertahankan relasinya yang penuh kekerasan itu dan "memilih" tetap bertahan terhadap siksaan dan penindasan yang didapat dari pasangan kawinnya; bahkan berani menanggung risiko kehilangan nyawanya. Dalam masyarakat bertatanan (sistem nilai) patriarki bagaimanapun status kawin memang punya arti lebih penting bagi perempuan dibandingkan lelaki karena menjanjikan menempatkan mereka pada posisi sosial yang lebih terhormat. 17

Faktor keempat, polisi yang menghadapi pengaduan korban KDRT sering enggan dan pura-pura tak berwenang menyidik karena mereka umumnya masih terselimuti mitos bahwa urusan dalam rumah tangga tidak masuk kategori kepentingan umum dan oleh sebab itu bukan merupakan urusan polisi. Intervensi paling jauh yang umumnya dilakukan oleh polisi dalam hal ini adalah mengupayakan "perdamaian" sesuai versi dan kehendaknya sendiri. Yang lebih buruk lagi adalah kalau polisi mengakhiri upaya "perdamaian" itu dengan memberi nasihat-nasihat agar sang korban meningkatkan kemahirannya dalam melayani sang suami sehingga mampu membahagiakannya 18 bahkan menyarankan agar mencabut 19 pengaduannya. Alih-alih melindungi korban kekerasan, sikap apparatus penegak hukum dalam menghadapi masalah ini sebaliknya justru menimpakan seluruh kesalahan dan penyebab terjadinya kejahatan tersebut pada sang korban (perempuan) yang demi hukum justru harus dilindunginya. 20
[ « Sebelumnya ] [ Selanjutnya » ]

-------------------
9. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van Straaftrecht)

10. Mamik Sri Supatmi, Undang-undang no 23 th 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga: satu kemajuan penghormatan atas hak azasi perempuan yang harus dikritisi, hlm 5.

11. Ricard J. Gelles & Murray A. Strauss (1985), "Violence in the American Family" dlm: Mamik Sri Supatmi, ibid.

12. Robert Elias (1986) dlm: Mamik Sri Supatmi, ibid.

13. Maria R. Roewiastoeti, kom.lis. Talk Show Radio Solo Pos, 22 Agustus 2007.

14. Mamik Sri Supatmi, ibid.

15. ibid.

16. Maria R. Roewiastoeti, op.cit. Talk Show Radio Solo Pos.

17. Mamik Sri Supatmi, op.cit.

18. ibid.

19. Disini polisi (biasanya lelaki) tidak lagi bertindak selaku penegak hukum dan penjamin rasa keadilan bagi sang korban melainkan perpanjangan tangan para pemuka agama. Maria R. Roewiastoeti, kom.les. 2007.

20. Mamik Sri Supatmi, ibid.


<< Table Of Content
 
     
     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Posting Komentar (Atom)