Logo

 

PEREMPUAN MANDIRI

Kumpulan Artikel Tentang Perempuan Indonesia

Selamat datang pengunjung, bila Anda memiliki pertanyaan atau komentar terkait blog ini, silahkan submit melalui link komentar yang ada di bagian bawah setiap halaman, Terimakasih, Nurul
skip to main | skip to sidebar

Perempuan Mandiri

Women Perempuan Wanita Empowerment Pemberdayaan Penguatan Feminisme Feminist Female Kesetaraan Equality Independent Mandiri Emansipasi Emancipation Patriarch Patriarchy Kepala Keluarga Subordinat KDRT Korban Victim IWD HPI PUK APP Jaringan

     
 
<< Table Of Content
Makalah Tentang Perempuan
*Gambar bukan cover tetapi merupakan ilustrasi
fitur makalah perempuanmandiri.blogspot.com


KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN & TATANAN PATRIARKI
Maria R. Roewiastoeti, SH
Copyright © Sarasvati

Tentang Penulis

Ketidakadilan gender sbg akibat tatanan patriarki

Dalam sejarah manusia tatanan (sistem nilai) patriarki memunculkan masalah baru karena tatanan ini (1) memisahkan dengan tegas mana peran gender lelaki dan mana peran gender perempuan, lalu (2) membakukan pemisahan itu.

Pemisahan peran mengakibatkan bahwa gender lelaki dibakukan berkarakter maskulin, rasional dan kuat, sedangkan gender perempuan dibakukan berkarakter feminin, emosional dan lemah lembut. Gender lelaki dibakukan berperan produktif (artinya: mencari nafkah) sementara itu gender perempuan dibakukan berperan reproduktif (artinya: tugas-tugas yang memudahkan tugas mencari nafkah). Gender lelaki dibakukan berkegiatan di ranah publik (yaitu di luar rumah kediaman keluarga) sedangkan gender perempuan dibakukan berkegiatan di ranah privat atau domestik (yaitu di dalam rumah kediaman keluarga). Gender lelaki dibakukan dengan citra pemimpin, imam dan kepala keluarga sedangkan gender perempuan dibakukan dengan citra anak buah, ma′mun dan anggota keluarga.

Seperti diketahui, pembakuan pemisahan peran gender semacam itu dipaksakan berlakunya sedemikian rupa lewat kekuasaan negara (sejauh bisa diperalat oleh agama) sehingga akhirnya berkembang dan diyakini sebagai kebenaran alamiah dan kodratiah, seakan-akan pemisahan peran gender berasal dari Tuhan sendiri.

Garis pemisah yang tegas dan tak tertembus antara peran gender lelaki dan peran gender perempuan tersebut tidak lagi memungkinkan baik perempuan maupun lelaki menggunakan dan mengembangkan talenta-talenta mereka secara leluasa serta membuat pilihan-pilihan untuk menjadi dirinya sendiri.

Contoh: lelaki harus maskulin, kalau tidak demikian dia akan dikatakan banci dan dibuang ke dalam kelompok perempuan. Lelaki harus kuat dan tidak boleh mengeluarkan air mata, kalau tidak demikian bukan lelaki namanya. Perempuan harus lemah lembut, tidak boleh menggunakan pikirannya; kalau tidak demikian dia akan disebut "bukan perempuan."

Garis pemisah yang kaku (rigid) ini menjadi sumber ketidakadilan gender baik bagi perempuan maupun bagi lelaki. Bukan saja para perempuan yang merasa terkekang dan tertekan karena wajib bertingkahlaku lemah lembut serta melupakan potensi-potensinya dalam berpikir dan memimpin, para lelakipun banyak mengalami frustrasi karena tatanan (sistem nilai) patriarki mengharuskan mereka tampil kaya raya dan menjadi "orang kuat" (super human) yang mampu memimpin keluarga dan komunitasnya; sementara kenyataannya tidak semua lelaki memiliki talenta cukup untuk menjalankan peran tersebut.

Para lelaki yang "beruntung" memiliki kekayaan dan kekuasaan kemudian menganggap bahwa kedudukan superior atas perempuan yang diperolehnya berdasarkan tatanan patriarki tersebut berasal dari Tuhan sendiri (kodratiah). Karena merasa superioritasnya bersifat alamiah dan kodratiah maka para lelaki kaya dan kuasa itu menganggap bahwa mereka berhak mengingini, memiliki, mengendalikan, mendidik, mengajar, menghukum, menetapkan aturan bagi serta menuntut ketaatan dari perempuan. Kekerasan thd perempuan pada umumnya terjadi dalam konteks ini.

Contoh: aturan mutilasi genital (sunat) bagi perempuan balita di Timur Tengah dibuat oleh lelaki (dan tentu saja wajib didukung perempuan agar mereka terhindar dari hukuman pengucilan) dalam rangka mengendalikan syahwat perempuan sejak mereka masih kanak-kanak & mempersiapkan keperawanan 8 mereka (hanya) bagi sang suami yang kelak memilikinya.

Sebaliknya lelaki yang tidak cukup memiliki kekayaan dan kekuasaan akan mengalami frustrasi. Mereka merasa bahwa sesungguhnya terlampau berat beban yang harus dipikul sebagai pemimpin dan pencari nafkah, namun demikian tatanan (sistem nilai) patriarki tidak kenal ampun terhadap kelemahan tersebut. Akibatnya, para lelaki yang frustrasi terpaksa menutupi untuk menyembunyikan kekurangan/kelemahan mereka - dalam rangka mempertahankan harga dirinya - dengan bersikap sok kuasa, bengis dan kejam terhadap perempuan dan anggota keluarga lainnya. Sikap sok kuasa, bengis dan kejam ini antara lain terungkap dalam perilaku: menghina, melecehkan bahkan memperkosa perempuan dewasa dan anak-anak perempuan.
[ « Sebelumnya ] [ Selanjutnya » ]

--------------------
8. Dengan alasan "kesucian" (terkait dengan moral agama) kewajiban mempersembahkan keperawanan bagi sang suami terinternalisasi dalam benak (hampir) semua perempuan "baik-baik" hingga masa kini.


<< Table Of Content
 
     
     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Posting Komentar (Atom)