| UPAYA PEREMPUAN KELUAR DARI KEMISKINAN 1 Nurul Sutarti 2 Paparan ini merupakan hasil perbincangan Penulis dengan Tutik Sugiarti, mantan Ketua Jar-PUK Kartini, Kabupaten Sukoharjo periode 2005 – 2007. Selain itu, juga hasil pengamatan Penulis terhadap kondisi di Desa Jagan, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo. Untuk memperkuat fakta tentang kemiskinan yang dialami oleh perempuan, Penulis juga melakukan perbandingan terhadap sumber referensi yang ada kaitannya dengan kemiskinan. Persepsi Kemiskinan Kemiskinan, menurut pendapat perempuan aktif yang biasa dipanggil Tutik, adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya: pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan pendidikan. Kondisi miskin tersebut bisa dialami oleh laki-laki, perempuan, dan anak-anak, tetapi yang paling menderita adalah perempuan dan anak-anak. Dengan kemiskinannya, perempuan bisa dikatakan lebih menderita dibanding laki-laki karena perempuan setiap hari dituntut harus memikirkan dan mewujudkan pangan untuk keluarga. Dalam mewujudkan pangan tersebut, perempuan harus bisa mencukupi kebutuhan gizi atau nutrisi bagi keluarga. Belum lagi urusan pendidikan sehari-hari. Mengingat laki-laki atau bapak jarang sekali atau bahkan tidak pernah memikirkan bagaimana cara menyediakan pangan apalagi memikirkan kecukupan gizi/nutrisi untuk seluruh keluarga. Ibu tiga anak ini, menegaskan, “Kalau jatah yang diparingi (baca: diberi) bapak tidak cukup, maka si ibu yang berusaha mencukupi pangan bagi seluruh anggota keluarga.” Karena adanya tuntutan semacam itu, maka dapat mengakibatkan perempuan terperangkap dalam kemiskinan. Bagaimana proses terjadinya kemiskinan, Tutik membeberkannya, sebagai berikut: Pertama kondisi miskin, karena pendapatan suami kurang, dalam arti hasil kerja suami tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, utamanya kebutuhan pokok, padahal perempuan dituntut harus menyediakan pangan untuk seluruh anggota keluarga. Dengan logat jawanya yang kental, Tutik mengungkapkan pengalaman yang ada selama ini, yaitu: pangan enek ra enek kudu enek lan cukup (pangan ada atau tidak, harus ada dan cukup), oleh karena itu seorang perempuan harus berusaha agar kebutuhan pangan terpenuhi meski dengan cara ngutang (pinjam/hutang) ke sana kemari. Kedua, dalam masyarakat miskin, rata-rata tingkat pendidikan perempuan rendah (biasanya pendidikan diutamakan untuk laki-laki), sehingga berpengaruh kepada penghasilan dan perempuan hanya memiliki keterampilan yang terbatas, akibatnya pun perempuan mengalami keterbatasan dalam memperoleh akses terhadap sumber-sumber penghasilan lainnya. Mengingat tingkat pendapatan juga dapat dipengaruhi oleh kreativitas dan di sisi lain semakin tinggi tingkat pendidikan formal, peluang untuk memperoleh pekerjaan semakin tinggi. Apa yang diungkapkan Tutik ini, hampir selaras dengan hasil penelitian SMERU tentang kemiskinan di tiga wilayah (Jawa Timur, Maluku Utara, dan Timor Barat). Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik individu atau kelompok yang mengalami peningkatan kesejahteraan atau yang mampu keluar dari kemiskinan diantaranya adalah memiliki pendidikan formal (tingkat dasar dan menengah) dan keterampilan. Dengan demikian, kemiskinan bukanlah merupakan suatu keadaan yang tetap (statis), tetapi keadaan yang selalu berubah (dinamis) dan terkait dengan berbagai bidang, karena terkait dengan peluang, aset, pengalaman sosial, ekonomi, budaya, dan psikologis seseorang atau sekelompok orang untuk dapat keluar dari kemiskinan. Oleh karena itu, definisi kemiskinan tidak hanya ditunjukkan dengan keterbatasan secara ekonomi, tetapi keadaan ketergantungan, rasa rendah diri, kuatnya perasaan disisihkan, kehilangan harapan, dan sejenisnya seperti yang diutarakan oleh Antropolog, Oscar Lewis. Fakta Kemiskinan yang Dialami oleh Perempuan Kemiskinan yang dialami perempuan di Desa Jagan, Bendosari, Sukoharjo, di mana Tutik tinggal sejak lahir ini ditunjukkan dengan tidak adanya pilihan mata pencaharian oleh warga desa, selain bertani. Sistem pertaniannya pun tergantung pada curah hujan alias tadah hujan. Akibatnya pola tanam tiap tahunnya yang dilakukan selama ini menggunakan pola tanam: padi – palawija – bero (atau tidak ditanami). Dengan demikian keterampilan yang dimiliki kebanyakan perempuan di Jagan adalah bertani, sehingga perempuan memperoleh penghasilan ketika musim tanam/penghujan sampai dengan panen. Ketika musim kemarau, praktis para perempuan di Jagan tidak mendapatkan penghasilan dari usaha taninya. Mengingat kondisi wilayah atau potensi daerah yang kurang mendukung. Fakta yang lain juga diperlihatkan dengan banyaknya perempuan di Desa Jagan yang berusia di atas 40 tahun yang masih buta huruf. Hal ini sama dengan kondisi Kabupaten Sukoharjo pada umumnya di mana jumlah penduduk perempuan yang buta huruf lebih dari dua kali lipat dibanding laki-laki. Menurut Statistik Gender Kabupaten Sukoharjo, pada kurun waktu 2001 sampai 2003, jumlah penduduk perempuan yang buta huruf berturut-turut: 68,65 persen; 66,85 persen; dan 67,19 persen. Sedangkan laki-laki 31,35 persen; 33,15 persen; dan 32,8 persen. Akar Masalah Penyebab Kemiskinan Tutik mengungkapkan beberapa hal yang menjadi akar penyebab kemiskinan. Dia mencari akar masalah dengan menggunakan pohon masalah berdasarkan pengalaman yang dilakukan selama memperoleh pelatihan maupun proses sarasehan keluarga yang mengungkap persoalan PUK. Menurutnya akar masalah penyebab kemiskinan yang dialami oleh perempuan, khususnya di Desa Jagan, karena pendidikan perempuan rendah. Rendahnya tingkat pendidikan ini karena tidak mampu membiayai sekolah, disebabkan penghasilan rendah. Penghasilan yang rendah karena potensi wilayah yang tandus dan tadah hujan. Setelah ditanya lebih jauh mengapa tingkat pendidikan perempuan rendah, Tutik menjelaskan dengan fasih karena budaya (jawa- red) memberi peluang lebih tinggi kepada laki-laki untuk memperoleh pendidikan. Mengapa demikian, karena pemahaman yang berkembang di masyarakat, laki-laki punya beban tanggung jawab yang lebih dibandingkan perempuan, meski pada prakteknya belum tentu, justru faktanya perempuan mempunyai tanggung jawab yang lebih. Tutik juga menambahkan, karena yang punya tanggung jawab di kebutuhan rumah tangga adalah perempuan, meski kalau dikatakan begitu laki-laki tidak terima. Di samping itu, karena laki-laki kalau tingkat pendidikannya lebih rendah dibanding perempuan, maka laki-laki malu. Bahkan, Tutik mengulang lagi pernyataannya yang mengatakan bahwa kebiasaan yang berkembang di masyarakat sekitarnya bahwa tuntutan yang mengharuskan perempuan bertanggung jawab terhadap kebutuhan rumah tangga dengan ungkapan Bahasa Jawa, demikian: Pokoke eneke sakmene, cukup ra cukup eneke gur iki (adanya ya itu, cukup atau tidak, adanya cuma itu-red). Perempuan tidak mungkin hanya mbegegek (diam saja- red.), pasti akan tetap berusaha untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Selain, budaya yang menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan, berkembang pula kebiasaan di masyarakat dengan adanya kegiatan sosial atau njagong. Seandainya ada perempuan yang tidak datang ketika ada warga masyarakat yang punya hajatan, maka mau tidak mau harus datang meski tidak punya uang untuk menyumbang. Kalaupun kepepet, maka harus pinjam uang atau barang kepada tetangga atau saudara, mengingat sudah membudaya kalau diulemi (diundang) tidak datang malu, karena akan jadi bahan rasanan (pembicaraan) sebagai salah satu sanksi sosialnya. Strategi Perempuan Keluar dari Kemiskinan Cara yang dilakukan perempuan untuk bisa meningkatkan kesejahteraannya atau keluar dari kemiskinan, menurut Tutik, yaitu perlu membongkar budaya, dengan melakukan penyadaran gender di keluarga (utamanya suami). Jika suami sudah bisa memahami persoalan budaya yang menyebabkan munculnya kemiskinan selama ini, mengungkung laki-laki dan perempuan banyak dirugikan, pasti suami juga bisa mengubah perilaku yang selama ini mungkin kurang pas atau merugikan istri. Kemudian mengupayakan komunikasi dua arah antara suami dan istri di dalam keluarga. Dengan kata lain perlu menyelesaikan persoalan apapun, termasuk persoalan ekonomi di dalam rumah tangga. "Bahwa kita (perempuan dan masyarakat lainnya) juga perlu mengembangkan keterampilan praktis untuk bisa meningkatkan pendapatan, misal pengolahan hasil-hasil potensi lokal, seperti pangan sehari-hari, dele (kedelai), pohung (ketela pohon) menjadi bahan olahan yang bisa dikonsumsi" imbuh perempuan energik ini. Di sisi lain, pengaruh budaya luar dan kebijakan yang kurang berpihak pada petani menyebabkan bidang pertanian tidak menarik bagi generasi muda, sehingga perlu revitalisasi bidang pertanian menuju agribisnis tidak hanya pertanian tradisional, karena penghasilan dari pertanian tradisional tidak bisa dijagakke (diharapkan). Dalam bertani, sarana produksi pertanian (saprodi) sangat tergantung pada pabrik, mulai dari benih sampai panen. Petani tidak mampu menghasilkan sendiri. Karena petani sudah dikondisikan (dibuat tergantung) seperti itu sejak orde baru. Petani dimanjakan dengan saprodi yang siap dipakai, sehingga tidak timbul/muncul kreativitasnya, akibatnya menjadi malas untuk berkreasi. "Contoh yang terjadi di masyarakat petani Jane duwe sapi, enek lethonge, tapi tetep pakai urea", jelas Tutik. Kreativitas petani tidak muncul, setelah ditanya lebih jauh, karena petani memang kurang mendapatkan akses informasi, meski ada juga yang menjadi malas karena hasilnya tidak sesuai dengan harapannya. Selain beberapa cara yang dilakukan di atas, Tutik memberikan cara yang konkrit (nyata) untuk keluar dari kemiskinan, yang bisa dilakukan perempuan: - Berhemat, dengan memenuhi kebutuhan berdasar pada skala prioritas, termasuk untuk tidak melakukan pengeluaran yang tidak penting, seperti baju kalau memang tidak penting tidak usah membeli lagi termasuk seragam ketika melakukan aktivitas di luar, misalnya di kelompok tani dan organisasi perempuan lainnya
- Memberdayakan diri melalui cara membekali diri dengan banyak pengetahuan, menggali potensi diri dan lingkungan, misalnya punya kebon tidak dibiarkan nganggur, tetapi ditanami sayur, lombok, sehingga bisa memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.
- Memahami prinsip-prinsip ketahanan pangan, bagaimana keluarga tidak kekurangan pangan dengan memberdayakan potensi lahan, baik sawah mapun pekarangan agar bisa mengurangi beban pengeluaran rumah tangga, khususnya pangan
- Tidak terjebak pada budaya impor dan budaya instan, baik budaya pangan maupun pakaian. Khusus terkait dengan pangan, masyarakat sekarang ini jarang sekali yang tahu produk pangan lokal, seperti uwi, gembili atau polo pendem lainnya. Masyarakat lebih mengetahui pangan seperti hamburger, piza, KFC, bahkan masyarakat terjebak pada budaya instan (serba cemepak, langsung enek). Hal ini bisa dilakukan dengan mempertahankan atau mengembalikan budaya pangan lokal dengan tidak gengsi atau malu memakan pangan lokal.
- Memperkuat persatuan dan kesatuan usaha kecil-mikro (PUK) dalam rangka memperkuat perekonomian dengan cara membeli, menggunakan serta mempromosikan produk PUK, menguatkan anggota kelompok (KPUK) yang belum mempunyai usaha, seperti yang dilakukan Tutik di mana kesehariannya mengelola usaha kecap dan minyak wijen terhadap Bu Kamti, anggota KPUK Srikandi yang sekarang membuat dan menjual cabuk dari bungkil wijen.
Pengalaman perempuan dalam upaya keluar dari kemiskinan sangat dipengaruhi oleh persepsi mereka yang terbangun terhadap kemiskinan yang ada di sekitarnya. Perempuan juga memiliki kearifan tersendiri dalam menyikapi kemiskinan yang dialami, yaitu dengan menyadari faktor-faktor penyebab dan pendukung munculnya kemiskinan, banyak belajar dan mencari jalan keluarnya ala perempuan. Dengan demikian, sesungguhnya yang diperlukan oleh para perempuan untuk keluar dari kemiskinan adalah para fasilitator yang mampu membangun kesadaran perempuan dalam memahami faktor-faktor penyebab dan pendukung kemiskinan, mengajak belajar dan mencari jalan keluar bersama serta mendorong partisipasi perempuan untuk memperoleh akses dalam pengambilan keputusan dan mempengaruhinya. Selebihnya para perempuan sendirilah yang akan mengembangkan kemampuannya keluar dari belenggu pemiskinan. 1. Tulisan ini pernah dimuat dalam Jurnal Permas Edisi 9/2008 2. Nurul Sutarti adalah Koordinator Pelatihan pada Yayasan Krida Paramita (YKP) Surakarta. | |