| POLITIK PEREMPUAN: PRIBADIKU ADALAH POLITIKKU ( The personal is political ) 1 Oleh Nurul Sutarti 2 Makna Politik yang Terbangun Selama ini Banyak kalangan, termasuk kebanyakan perempuan, beranggapan bahwa politik adalah dunianya kaum laki-laki, sedangkan perempuan dianggap memiliki wilayah tersendiri yaitu ranah domestik (rumah tangga). Hal ini membuat pemahaman masyarakat umum, termasuk perempuan bahwa makna ’politik’ dipahami sebagai dunia yang penuh dengan intrik, kekerasan, dan hanya berorientasi (tertuju) pada kekuasaan. Akibatnya, perempuan dianggap tidak pantas masuk dan berkiprah dalam dunia politik, apalagi menjadi pemimpin. Lebih parahnya lagi, perempuan juga takut bahkan ’alergi’ mendengar kata ’politik’. Hal ini berdampak pada minimnya jumlah perempuan yang terlibat dalam pengambilan keputusan, baik di tingkat keluarga, masyarakat, maupun negara, bahkan terhadap dirinya sendiri pun perempuan hampir tidak berhak mengambil keputusan. Menyikapi kondisi ini tidak ada pihak yang patut dipersalahkan, karena lebih dari 32 tahun perempuan Indonesia sudah dikondisikan untuk apolitis. Selain itu, makna politik dipersepsikan sebagai hal-hal yang berhubungan dengan partai politik yang didominasi oleh masyarakat yang berjenis kelamin laki-laki, sehingga tidak salah kalau pada akhirnya politik sarat dengan kepentingan laki-laki. Hal ini berimbas pada kurangnya keputusan dan kebijakan pemerintah yang mengakomodasi kepentingan perempuan. Makna Politik Perempuan Perempuan perlu melakukan pembongkaran terhadap pemahaman tentang makna politik sebagaimana tersebut di atas. Tentu saja pembongkaran itu menurut kaca mata perempuan. Perempuan perlu membangun pemahaman tentang politik perempuan yang sederhana, terjadi setiap hari, dan berangkat dari pengalaman perempuan sebagai sumber pengetahuan yang autentik. Oleh karena itu, dalam berpolitik, perempuan perlu membangun prinsip-prinsip politik yang memperjuangkan keadilan gender dengan menyadari bahwa perempuan mengalami ketertindasan (mengalami opresi) sehingga perlu bereaksi untuk membebaskan diri dari ketertindasan tersebut. Prinsip-prinsip dimaksud adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang secara budaya dihubungkan dengan perempuan, seperti: saling ketergantungan (interdependensi), komunitas, hubungan kemanusiaan, berbagi (share), emosi, tubuh, kepercayaan, tidak mengenal tingkatan dan kedudukan (ketiadaan hierarki), alami, imanensi (berada dalam kesadaran atau dalam pikiran), menghargai proses, kesukariaan, perdamaian, dan kehidupan. Prinsip-prinsip politik ini tidak akan mengorbankan siapapun, termasuk perempuan dan kaum yang terpinggirkan lainnya. Perjuangan politik perempuan tidak sama dengan pemahaman politik yang dimaknai oleh masyarakat kebanyakan. Perjuangan politik bagi perempuan tidak hanya menyangkut kehidupan publik yang harus melibatkan berbagai kelompok dan bersifat masif. Membuka atau mengungkapkan pengalaman pribadinya sebagai orang yang tertindas di dalam keluarga sudah dapat dikatakan berpolitik. Mengingat, selama ini permasalahan perempuan selalu dianggap kasuistik, artinya hanya dialami oleh orang-orang tertentu saja. Sejatinya anggapan tersebut tidak benar, namun telah menumbuhkan kesadaran bahwa persoalan yang dialami satu orang tetap saja merupakan persoalan dan tidak dapat ditiadakan (dinafikkan) begitu saja, sehingga harus disikapi. Suatu fenomena disebut sebagai fenomena politik, tidak hanya ketika melibatkan banyak orang, tetapi makna politik di sini, menghendaki seseorang harus didorong untuk berani memperjuangkan kepentingannya, meskipun dianggap kepentingan segelintir orang. Sebab segelintir orang ini adalah kaum tertindas yang harus berjuang melepaskan diri dari ketertindasan, di mana kebebasan adalah hak semua orang. Untuk itu, perlu ada keberanian untuk berjuang yang dimulai dari diri sendiri, yang pada gilirannya akan mendorong perjuangan kolektif (bersama) karena adanya pengalaman ketertindasan yang sama dialami oleh orang lain. Sejalan dengan pemikiran di atas, perempuan perlu sadar akan persoalan yang dihadapi oleh sebagian besar perempuan, sehingga tidak membedakan, apalagi mempertentangkan antara isu perempuan dan isu politik. Isu perempuan merupakan bagian dari isu politik atau di dalam isu politik terkandung isu perempuan. Selain itu, perempuan juga perlu mengenali hak-hak politiknya3 sebagai perempuan dan sebagai warga negara. Dengan demikian, perempuan perlu melek politik dan berhak mengambil bagian dalam politik. Ketika perempuan berpolitik seharusnya mampu membersihkan yang ’kotor-kotor’, bisa mewarnai dengan melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dan anti-kekerasan serta tentu saja dengan cara yang berbeda dengan laki-laki yaitu dengan cara beremphati dan kasih sayang. Melek Politik bagi Perempuan Perempuan mesti melek politik, karena dengan perempuan mengerti politik, maka perempuan akan dapat mengubah pola relasi, agar tidak selalu dinomorduakan (tersubordinasi) dalam pengambilan keputusan, yang menyangkut dirinya, baik di keluarga maupun di masyarakat. Hal itu dapat dimulai dari diri perempuan itu sendiri. Seorang perempuan dapat dikatakan telah melek politik apabila perempuan berani mengambil keputusan untuk menyelesaikan masalahnya, serta perempuan mampu menyelamatkan kehidupannya. Setiap keputusan yang diambil oleh perempuan didasarkan pada proses pengalaman hidupnya yang memiliki banyak masalah, yakni: masalah ekonomi, kesehatan, dan maraknya kekerasan terhadap perempuan. Masalah ekonomi yang dialami perempuan diantaranya adalah tidak adanya penilaian dan penghargaan terhadap kerja-kerja yang dilakukan oleh perempuan. Perempuan yang berperan dalam produksi makanan keluarga, memelihara dan mendidik anak, memelihara kesehatan keluarga, melakukan penghematan pengeluaran keluarga dan pekerjaan rumah tangga lainnya dianggap bukan melakukan pekerjaan produktif dan tidak mempunyai nilai ekonomi walaupun menghasilkan benda/jasa yang tak ternilai harganya secara ekonomi. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya pemikiran yang mendikotomikan (mempertentangkan) antara pekerjaan domestik dan pekerjaan publik dalam kehidupan ekonomi. Parahnya pekerjaan publik dinilai dan dihargai secara ekonomi lebih tinggi dibanding pekerjaan domestik. Masalah kesehatan perempuan, antara lain ditunjukkan dengan masih tingginya Angka Kematian Ibu melahirkan (AKI) di Indonesia yaitu 307/100.000 kelahiran dan tertinggi di ASEAN. Tingginya angka kematian bayi di Indonesia, yaitu 430 per harinya. Selain itu, kurangnya pemahaman tentang masalah kesehatan reproduksi masih dialami oleh banyak perempuan, terutama kaum perempuan yang kurang mendapatkan akses pendidikan dan berada di pedesaan. Terkait dengan masalah kekerasan, fakta menunjukkan bahwa kasus-kasus kekerasan berbasis gender yang korbannya perempuan dan anak, baik secara kuantitas maupun kualitas semakin meningkat. Secara kuantitas, data memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan jumlah kasus yang ditangani oleh tujuh Aliansi/Forum/Jaringan Peduli Perempuan se-Eks Karesidenan Surakarta (52 kasus pada 2005 menjadi 79 kasus pada 2006). Hal serupa juga terjadi secara nasional, data yang dihimpun Komnas Perempuan menunjukkan peningkatan jumlah kasus kekerasan yang ditangani oleh 258 lembaga penyedia layanan yang tersebar di Indonesia ( 20.391 kasus pada 2005 menjadi 22.512 kasus pada 2006). Bertolak dari uraian di atas, guna mengatasi berbagai masalah yang melilit kaum perempuan, maka perlu ada kesadaran kolektif (bersama) kaum perempuan bahwa perempuan memiliki otoritas (kekuasaan) dan otonomi atas tubuhnya sendiri, karena perempuan merupakan makhluk yang bebas menentukan segala yang baik atas dirinya sendiri, dan perempuan juga memiliki kebebasan untuk menjadi pemimpin di komunitasnya. Adanya kesadaran yang demikian, maka dapat dikatakan bahwa perempuan sudah memahami bahwa politik mampu memperbaiki kehidupan perempuan, atau dengan kata lain politik dapat menyelamatkan kehidupan perempuan. Agenda Politik Perempuan Bertolak dari adanya kesadaran dan pemahaman politik perempuan, maka upaya yang perlu dilakukan perempuan seharusnya mengarah pada peningkatan kemampuan untuk melahirkan pemimpin yang memiliki perspektif keadilan gender dan pluralis. Dengan demikian, apa yang dipikirkan perempuan sehari-hari menjadi agenda yang harus diwujudkan dalam perjuangan politik perempuan. Agenda tersebut, yaitu: - Perempuan dan ekonomi, yaitu mendesakkan kepada pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap usaha kecil-mikro dengan melakukan penataan terhadap swalayan-mini market dan mall yang faktanya dapat mengurangi omset penjualan perempuan usaha kecil (PUK). Sebagai informasi bahwa saat ini Jaringan Perempuan Usaha Kecil-mikro (Jar-PUK) di beberapa wilayah: Boyolali, Karanganyar, dan Sukoharjo sedang berproses untuk mendesakkan adanya aturan di daerah yang mengatur akan hal tersebut.
- Perempuan dan kesehatan, yakni memperjuangkan peningkatan alokasi anggaran untuk posyandu, puskemas gratis, dan yang sedang hangat-hangatnya adalah pemenuhan hak-hak reproduksi perempuan dalam RUU Revisi Kesehatan yang saat ini sedang diagendakan untuk segera dibahas oleh Komisi IX DPR RI. Untuk aras lokal, hal ini diperjuangkan oleh teman-teman Jar-PUK Sejati Wonogiri dan Jar-PUK Kompak Klaten dengan adanya rancangan peraturan desa (Raperdes) yang mengatur Alokasi Dana Desa.
- Penghapusan kekerasan terhadap perempuan, yaitu segera mengefektifkan kebijakan-kebijakan dan menegakkan aturan yang sudah ada, dalam rangka pencegahan kekerasan serta perlindungan bagi perempuan korban, seperti: Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA), Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU P-KDRT), Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU Traffiking), Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang tentang Kewarganegaraan serta Peraturan Pemerintah (PP) terkait.
- Perempuan dan pengambilan keputusan, yakni mendorong kaum perempuan agar berani mengambil keputusan yang menyangkut dirinya sendiri, ikut mencalonkan diri jadi Ketua RT, ikut terlibat dalam pengambilan keputusan dalam musyawarah desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, dan mendukung keterwakilan perempuan 30 persen dalam lembaga pengambilan keputusan. Apalagi saat ini akan diundangkannya RUU Politik yang harusnya mengakomodir keterwakilan perempuan 30 persen dalam kepengurusan parpol dan pencalonan legislatif.
- Pemenuhan hak asasi perempuan, yang meliputi: 1) Hak untuk hidup, bebas dan rasa aman; 2) Hak untuk bebas dari diskriminasi gender; 3) Hak atas kesehatan, kesehatan reproduksi dan keluarga berencana; 4) Hak untuk mengubah adat kebiasaan diskriminasi terhadap perempuan; 5) Hak atas privasi; 6) Hak untuk menikah dan memulai hidup berkeluarga; 7) Hak untuk memutuskan jumlah anak dan rentang waktu kelahiran; 8) Hak untuk tidak menjadi korban penyiksaan atau perlakuan lainnya yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan; 9) Hak untuk bebas dari kekerasan dan eksploitasi seksual; 10) Hak untuk menikmati perkembangan sains dan melakukan eksperimentasi.
Agenda tersebut dapat dilakukan melalui kesatuan organisasi perempuan dan penguatan jaringan/aliansi, serta perempuan berani berkorban untuk menjadi part of them, bagian dari mereka (laki-laki) sebagai strategi untuk melakukan perubahan agar terwujud praktek-praktek politik yang ramah dengan perempuan. Dalam hal ini tentunya tetap memperhatikan ciri politik perempuan yang memiliki prinsip-prinsip sebagaimana tersebut di atas. Dengan demikian kehadiran kaum perempuan dalam dunia politik akan membawa warna baru bagi dunia politik guna mewujudkan keputusan dan kebijakan yang adil. Selamat berpolitik! 1 Tulisan pernah dimuat di Jurnal Permas Edisi No.8/2007. 2 Nurul Sutarti adalah Koordinator Pengorganisasian atau Jaringan pada Yayasan Krida Paramita (YKP) Surakarta dan Team Leader Program Penguatan Jaringan Kerja Kelompok Perempuan menuju Masyarakat Sipil (Jaker-Permas) di 9 Kabupaten / Kota di Jawa Tengah. 3 Hak politik sesuai DUHAM (Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia), yaitu:- Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan dan kebebasaan untuk menyatakan agama atau kepercayaan.
- Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah.
- Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat tanpa kekerasan. Tidak seorangpun boleh dipaksa untuk memasuki suatu perkumpulan.
- Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negaranya, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas dimana setiap suara dihitung sama dan pilihan anda menjadi hak anda. Karenanya pemerintah harus melakukan apa yang rakyat inginkan.
| |