| PERAN PEREMPUAN DALAM MENGUAK KEKERASAN DI EKS KARESIDENAN SURAKARTA 1 Nurul Sutarti 2 Kekerasan terhadap perempuan merupakan bentuk ketidakadilan yang sangat mudah dilihat atau kasat mata. Jika ditelusuri lebih lanjut, kekerasan terhadap perempuan merupakan gejala kompleks yang ketika terlihat memiliki akar, baik di individu (personal), komunitas, maupun dalam norma sosial. Oleh karena itu, upaya pencegahan dan penanggulangannya pun akan efektif bila ada pemberdayaan terhadap komunitas dan warga termasuk perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam mengikis segala bentuk kekerasan, baik yang terjadi di ranah publik maupun domestik (rumah tangga). Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di wilayah Eks. Karesidenan Surakarta, yang meliputi Kabupaten Sragen, Karanganyar, Wonogiri, Sukoharjo, Klaten, Boyolali, dan Kota Surakarta pada tahun 2006 kecenderungannya meningkat jika dibanding tahun 2005. Berdasarkan data yang dihimpun dari berbagai Aliansi/Forum/Jaringan Peduli Perempuan yang berfungsi sebagai penyedia layanan berbasis komunitas di masing-masing kabupaten/kota tersebut, jumlah kasus yang ditangani 52 kasus pada 2005 (11 kasus di publik dan 41 kasus di dalam rumah tangga), dengan perincian: 13 kasus di Sragen, 6 kasus di Karanganyar, 4 kasus di Wonogiri, 12 kasus di Sukoharjo, 9 kasus di Klaten, 3 kasus di Boyolali, dan 5 kasus di Kota Surakarta. Sedang pada 2006 jumlah kasus yang ditangani meningkat menjadi 79 kasus, terdiri dari 21 kasus terjadi di publik dan 58 kasus terjadi di ranah rumah tangga. Adapun secara terinci jumlah kasus masing-masing wilayah, sebagai berikut: di Sragen 24 kasus, di Karanganyar 9 kasus, di Wonogiri 14 kasus, di Sukoharjo 11 kasus, di Boyolali 2 kasus, dan 19 kasus di Kota Surakarta. Peran Aliansi/Forum/Jaringan Peduli Perempuan Kasus-kasus kekerasan di Eks Karesidenan Surakarta, baik dalam rumah tangga maupun yang terjadi di komunitas (publik) tersebut terungkap berkat adanya pengaduan, baik langsung ke Aliansi/Forum/Jaringan Peduli Perempuan di setiap wilayah maupun laporan kader perempuan yang melihat kekerasan sebagai ’fenomena gunung es’ di lingkungannya. Mengingat di masing-masing wilayah tersebut, seperti: Aliansi Peduli Perempuan Sukowati (APPS) di Sragen, Forum Peduli Perempuan Karanganyar (FPPK), Aliansi Peduli Perempuan Sukses (APP Sukses) di Wonogiri, Aliansi Peduli Perempuan Makmur (APPM) di Sukoharjo, Aliansi Peduli Perempuan Klaten (APPK), Forum Peduli Perempuan Boyolali, dan Jaringan Peduli Persoalan Perempuan Kota Surakarta (JP3KS) telah dikenal oleh masyarakat sebagai tempat yang dapat menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Dikenalnya aliansi/forum/jaringan peduli perempuan tersebut oleh masyarakat bukanlah proses yang dengan sendirinya (otomatis), namun butuh waktu yang panjang dan lama untuk selalu membangun kapasitas anggota aliansi/forum/jaringan dan masyarakat akan kesetaraan dan keadilan gender. Mengingat kekerasan terhadap perempuan tidak dapat dihapuskan dari akar masalahnya, yaitu diskriminasi, sehingga anggota aliansi/forum/jaringan tersebut senantiasa melakukan upaya peningkatan kesadaran gender dan hak-hak asasi perempuan, baik di tingkat aparat pemerintah maupun komunitas di lingkungannya masing-masing. Selain upaya mempopulerkan produk hukum yang melindungi korban kekerasan, seperti Undang-Undang No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA) dan Undang-undang No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (P-KDRT). Hal ini dilakukan dengan kesadaran bahwa penting untuk melakukan perubahan baik secara struktur (pemerintahan) maupun kultur, keduanya penting dilakukan untuk mengikis diskriminasi terhadap perempuan. Dalam upaya membangun kesadaran tersebut, selalu ditekankan bahwa baik negara melalui pemerintah setempat (desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota) maupun masyarakat (komunitas) mempunyai tanggung jawab dalam mencegah dan menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Negara mempunyai kewajiban: 1). Mengambil langkah non legal atau yang lebih bersifat sosial budaya dalam kehidupan kemasyarakatan di negaranya. 2). Menghukum atau memberi sanksi kepada setiap pelaku tindak kekerasan berbasis gender, apakah dilakukan orang, organisasi atau perusahaan. 3). Negara dapat diminta pertanggungjawabannya, bila: pejabat publik terlibat dalam tindakan kekerasan berbasis gender, negara gagal membuat atau menegakkan hukum dalam mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi perempuan yang dilakukan seseorang, negara gagal melakukan penyelidikan dan menghukum tindakan-tindakan pelanggaran tersebut (Komnas Perempuan 2006:7). Sedang tanggung jawab masyarakat, khususnya dalam upaya pencegahan dan penanganan KDRT, seperti tersebut dalam pasal 15 Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga: Setiap orang yang mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:: mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban, memberikan pertolongan darurat, dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan. Pihak yang terlibat langsung di aliansi/forum/jaringan dalam melakukan penanganan kasus-kasus kekerasan, adalah para kader perempuan yang selama ini telah mengikuti proses membangun kapasitas sebagai kader penegak hak asasi perempuan dan pengelolaan pusat pelayanan dan penanganan persoalan perempuan (P4 Perempuan). Namun, ketika kader belum mampu menangani proses hukum, maka kader mengajak pribadi (advokat) dan organisasi lain yang bersedia untuk mendampingi korban dalam proses hukum, baik di Kepolisian, Kejaksaan, maupun Pengadilan. Selain itu, kader juga melibatkan komunitas, melalui tokoh masyarakatnya dan komunitas itu sendiri, khususnya ketika korban membutuhkan rumah aman. Upaya yang dilakukan Aliansi/Forum/Jaringan dalam mengikis kekerasan terhadap perempuan, secara kultural dengan membangun pemahaman akan kesetaraan dan keadilan gender di komunitas, melalui penguatan kelompok-kelompok perempuan serta di tingkat aparat pemerintah dan penegak hukum melalui promosi hak asasi perempuan, baik di kecamatan maupun kabupaten/kota. Sedang secara struktural, Aliansi/Forum/Jaringan sedang menginisiasi peraturan daerah yang mengakomodir kebutuhan perempuan, misalnya seperti di Sragen, Karanganyar, dan Wonogiri Aliansi/Forum Peduli Perempuan sedang dalam proses mengajukan legal draft kepada pemerintah tentang Penanganan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Proses pengajuan ini didasarkan pada hasil pos apirasi yang dilakukan terhadap para perempuan di masing-masing wilayah, baik di desa maupun di kota dan dari berbagai profesi. Membangun Pusat Pelayanan dan Penanganan Persoalan Perempuan Berbasis Komunitas Berdasarkan pengalaman masing-masing aliansi/forum/jaringan yang sebagian besar beranggotakan perempuan dalam menguak terjadinya kekerasan, maka dapat disimpulkan hal-hal yang sudah dilakukan dalam penanganan kasus berbasis komunitas. Pertama, membangun pemahaman akan keadilan dan kesetaraan gender, melalui diskusi di tingkat komunitas maupun aparat pemerintah dan penegak hukum. Kedua, meningkatkan kapasitas sebagai kader penegak hak asasi perempuan, dalam pengelolaan pusat penanganan persoalan perempuan berbasis komunitas, dan keterampilan advokasi. Ketiga, melakukan pengorganisasian atau penguatan kelompok-kelompok perempuan dan kelompok korban (peer group conselling) untuk mengungkap kasus kekerasan yang ditangani aliansi/forum/jaringan dan kelompok melalui konferensi kasus (case conference). Keempat, melakukan advokasi, baik dalam rangka penghapusan kekerasan terhadap perempuan melalui membangun opini publik dengan kampanye, maupun pembelaan terhadap korban kekerasan ketika membutuhkan dukungan untuk menekan aparat penegak hukum dalam proses-proses persidangan yang tidak berpihak pada korban. Kelima, mengembangkan jaringan dengan pihak-pihak yang peduli pada penanganan kasus-kasus kekerasan berbasis gender, seperti: Lembaga Bantuan Hukum (LBH), psikolog, LSM yang peduli pada persoalan perempuan dan anak. Keenam, mendesakkan aturan hukum di daerah (Peraturan Daerah) yang mengakomodir kebutuhan korban kekerasan. Itulah pengalaman perempuan di Eks Karesidenan Surakarta dalam membangun pusat penanganan persoalan perempuan berbasis komunitas untuk mengungkapkan kasus-kasus kekerasan yang terjadi baik di komunitas maupun rumah tangga. Pengalaman tersebut tidak akan dapat diketahui publik jika di antara para perempuan tidak mau berbagi akan pengalamannya sendiri. Referensi: Komnas Perempuan, Menyediakan Layanan Berbasis Komunitas, Prinsip-prinsip bekerja dengan komunitas untuk pemulihan perempuan korban kekerasan, Mei 2006. Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, No. 23 Tahun 2004. 1. Tulisan ini juga dimuat di Buku Women for Peace. Buku yang diterbitkan oleh Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia bekerja sama dengan Kedutaan Norwegia di Jakarta
2. Nurul Sutarti adalah Koordinator Pengorganisasian atau Jaringan pada Yayasan Krida Paramita (YKP) Surakarta dan Team Leader Program Penguatan Jaringan Kerja Kelompok Perempuan menuju Masyarakat Sipil (Jaker-Permas) di 9 Kabupaten / Kota di Jawa Tengah. | |