| MENGUNGKAP KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DI EKS KARESIDENAN SURAKARTA1 (Refleksi Memperingati Hari Perempuan Internasional, 8 Maret) Nurul Sutarti 2 Delapan Maret setiap tahun diperingati sebagai Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak-hak Perempuan dan Perdamaian Internasional, biasa dikenal dengan Hari Perempuan Internasional (HPI) atau International Women’s Day (IWD). Namun, masyarakat (perempuan) pada umumnya di Indonesia tidak begitu lazim memperingatinya. Baru beberapa tahun terakhir ini, momentum HPI sering diperingati oleh kebanyakan aktivis perempuan di Indonesia dengan berbagai aksinya. Sekilas tentang Hari Perempuan Internasional Hari Perempuan Internasional (HPI) sesungguhnya merupakan kisah perempuan biasa menoreh catatan sejarah; yakni suatu perjuangan yang berabad-abad lamanya untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat, seperti halnya kaum laki-laki. Di masyarakat Yunani Kuno, Lysistrata menggalang gerakan perempuan mogok berhubungan seksual dengan pasangan (laki-laki) mereka untuk menuntut dihentikannya peperangan. Pada masa Revolusi Prancis, perempuan Paris berunjuk rasa menuju Versailles sambil menyerukan ’kemerdekaan, kesetaraan dan kebersamaan’ (liberte, egalite, fraternite) menuntut hak perempuan untuk ikut dalam pemilu. Gagasan untuk memperingati HPI sebenarnya telah berkembang sejak seabad yang lalu ketika dunia industri sedang dalam masa perkembangan dan pergolakan, peningkatan laju pertumbuhan penduduk dan bermunculannya paham-paham radikal. Salah satu tokoh penting yang memprakarsai lahirnya HPI adalah Clara Zetkin. Dia adalah seorang aktivis hak-hak buruh perempuan dan anggota Partai Demokrat Sosialis Jerman. Beliau telah menyampaikan satu cadangan bahwa semua kaum perempuan di seluruh dunia seharusnya memilih satu hari untuk membuat tuntutan mereka pada setiap tahun. Dalam konteks sejarah Indonesia, HPI pernah diamini oleh pemerintahan Soekarno semasa Demokrasi Terpimpin. Berbagai organisasi perempuan saat itu juga diberi otonomi dalam mempersiapkan perayaan HPI tersebut. Tetapi setelah Orde Baru berkuasa, peringatan HPI dilarang lantaran latar belakangnya yang berasosiasi dengan komunisme. Hal ini kemudian semakin menjerumuskan perempuan dalam peran-peran domestik. Pelaksanaan peringatan HPI sebenarnya sangat diperlukan untuk memperingati peran strategis perempuan dalam ruang publik guna mengikis berbagai persoalan perempuan. Persoalan Perempuan Membahas persoalan perempuan tidak sedikit waktu yang dibutuhkan. Mengingat perempuan banyak mengalami permasalahan, sejak ia dilahirkan sebagai perempuan, bertumbuh dan berkembang sebagai perempuan, selanjutnya memasuki dunia pernikahan dan rumah tangga, bahkan sampai mati pun masih menyisakan persoalan. Mengapa hal itu terjadi? Padahal separo dari 6,1 miliar penduduk dunia adalah perempuan. Belum terselesaikannya masalah perempuan selama ini, karena hanya sedikit perempuan yang terlibat dalam pengambilan keputusan di panggung politik maupun dalam kehidupan ekonomi. Padahal, kaum perempuan di seluruh dunia, melakukan bagian terbesar pekerjaan, mulai dari membereskan rumah, merawat anak-anak dan orang tua, dan tak sedikit yang giat mencari penghasilan. Malangnya, ketika laki-laki menghabiskan waktu untuk pekerjaan yang dibayar, hanya sepertiga pekerjaan yang dilakukan perempuan yang dibayar. Perempuan terus diperlakukan sebagai warga negara kelas dua yang terpinggirkan (second-class citizenship) di banyak wilayah dunia dan menjadi korban undang-undang dan praktek yang diskriminatif, sering kali atas nama agama, tradisi, dan budaya. Kondisi tersebut di atas menggambarkan bahwa kaum hawa memang lebih besar dalam hal jumlah dan beban kerjanya, namun sangat minim suara perempuan yang memperjuangkan kepentingannya. Salah satu akibatnya, banyak kekerasan yang dialami oleh perempuan, baik yang terjadi di publik apalagi di ranah domestik. Terkait dengan persoalan kekerasan, di beberapa kabupaten/kota se-Eks. Karisidenan Surakarta terjadi kecenderungan yang meningkat jumlahnya di tahun 2006 dibanding tahun sebelumnya, 2005. Hal ini terungkap melalui data yang dihimpun dari tujuh Aliansi/Forum/Jaringan Peduli Perempuan yang menerima pengaduan dan menangani kasus-kasus kekerasan berbasis gender di masing-masing kabupaten/kota se-Eks. Karisidenan Surakarta. Jika di tahun 2005 jumlah kekerasan yang ditangani sebanyak 52 kasus dengan perincian 11 kasus merupakan kekerasan yang terjadi di publik dan 41 kasus terjadi di dalam rumah tangga (domestik) atau karena relasi personal antara korban dan pelaku. Sedang pada 2006, kasus kekerasan yang ditangani oleh ketujuh Aliansi/Forum/Jaringan Peduli Perempuan meningkat sekitar 52 persen menjadi 79 kasus (14 kasus di Wonogiri, 11 kasus di Sukoharjo, 24 kasus di Sragen, 2 kasus di Boyolali, 9 kasus di Karanganyar, dan 19 kasus di Surakarta). Dari 79 kasus tersebut, 58 kasus atau 73 persennya merupakan kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga (KDRT). Ini mengindikasikan bahwa ternyata rumah tangga yang dibangun atas dasar cinta kasih antara suami dan isteri ternyata tidak menjamin adanya rasa aman bagi perempuan, mengingat sebagian besar korban KDRT adalah isteri. Kasus KDRT berdasarkan data pengaduan di JP3KS (Jaringan Peduli Persoalan Perempuan Kota Surakarta) meningkat signifikan untuk Kota Surakarta (dari 5 kasus di tahun 2005 menjadi 19 kasus di 2006). Sedangkan kasus-kasus kekerasan yang terjadi di publik, yang korbannya anak untuk Kabupaten Sragen dan Wonogiri juga menunjukkan peningkatan yang cukup berarti. Data kasus kekerasan yang ditangani oleh Aliansi Peduli Perempuan Sukowati (APPS) Sragen pada 2005, sejumlah 4 kasus menjadi 11 kasus di tahun 2006. Sedang di Wonogiri, berdasarkan data dari Aliansi Peduli Perempuan Sukses (APP Sukses) Wonogiri pada 2006 terjadi 9 kasus dan 1 kasus pada 2005. Adapun bentuk-bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak tersebut, mencakup baik kekerasan secara fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi/penelantaran rumah tangga. Selain itu, sebagian besar dari mereka juga mengalami kekerasan ganda, artinya bentuk kekerasan yang dialami tidak hanya satu macam, namun selalu diikuti bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Jika dilihat dari umurnya, baik korban maupun pelaku ada yang termasuk anak (di bawah 18 tahun). Dan tingkat pendidikannya pun baik korban maupun pelaku juga bervariasi, mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Melihat fenomena kekerasan yang seperti ’gunung es’, maka ada beberapa hal yang patut menjadi refleksi kita bersama: - Apakah perangkat hukum yang selama ini dipakai untuk menjerat pelaku kekerasan mampu menjadi payung hukum yang efektif untuk mencegah tidak berulangnya kekerasan, baik di publik maupun di rumah tangga.
- Apakah para penegak hukum mempunyai keberpihakan terhadap para korban kekerasan ketika para korban kekerasan melakukan proses hukum.
- Apakah masyarakat (laki-laki dan perempuan) juga sudah berlaku adil bagi para korban kekerasan, tidak membuat korban menjadi korban lagi (mengalami reviktimisasi).
- Apakah budaya yang berkembang di masyarakat telah adil dan ’nyaman’ bagi perempuan yang selama ini selalu dinomorduakan.
1. Tulisan ini pernah dimuat dalam Harian Solopos, 8 Maret 2007 2. Nurul Sutarti adalah Koordinator Pengorganisasian atau Jaringan pada Yayasan Krida Paramita (YKP) Surakarta dan Team Leader Program Penguatan Jaringan Kerja Kelompok Perempuan menuju Masyarakat Sipil (Jaker-Permas) di 9 Kabupaten / Kota di Jawa Tengah. | |