| PENGALAMAN PENDAMPINGAN KORBAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DI EKS KARESIDENAN SURAKARTA1 Nurul Sutarti 2 I. Pengantar Kekerasan terhadap perempuan (KtP) yang menjadi fenomena sosial merupakan salah satu bentuk ketidakadilan gender yang nampak di masyarakat kita. Secara nasional, menurut Catatan Awal Tahun Komnas Perempuan, 2005, menunjukkan bahwa data kasus tindak KtP setiap tahunnya meningkat. Pada 2001 terdapat 3169 kasus KtP. Jumlah ini bertambah menjadi 5163 pada 2002, dan kembali meningkat menjadi 7787 pada 2003 serta meningkat hampir dua kali lipatnya atau 14.020 pada 2004. Kondisi ini seharusnya menggugah kesadaran pemerintah dan masyarakat untuk dapat melakukan pencegahan tindak KtP. Meski, sebenarnya sudah ada instrumen yang dapat dijadikan landasan hukum, baik internasional maupun nasional untuk melakukan pencegahan terhadap tindak KtP. Instrumen internasional, yaitu: Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), Konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Ellimination of All Forms Discrimination of Againts Women/CEDAW), dan Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (Declaration on the Ellimination of Violence Againts Women/DEVAW). Sedangkan instrumen nasional, adalah: UU No. 39/1999 tentang HAM, UU No. 7/1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap perempuan, Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri (Menteri Sosial, Menteri Kesehatan, Menteri Pemberdayaan Perempuan) dan Kapolri 2002 tentang Pelayanan Terpadu Korban KtP, serta UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (P-KDRT). Keberadaan instrumen tersebut akan efektif jika antara pemerintah dan masyarakat bekerja sama untuk memberikan pemahaman tentang makna dan dampak KtP kepada masyarakat luas. Selain itu, juga perlu dirumuskan strategi untuk melakukan tindakan pencegahan KtP. I. Peta Kekerasan terhadap Perempuan di Eks. Karesidenan Surakarta Berdasarkan data yang dihimpun oleh Yayasan Krida Paramita (YKP) dalam mendampingi penanganan kasus-kasus tindak KtP se-Eks. Karesidenan Surakarta per Desember 2005 seperti tercantum pada Tabel 1. Kasus-kasus tindak KtP tersebut ditangani oleh YKP bersama dengan Aliansi/Forum Peduli Perempuan di setiap kabupaten/kota. Aliansi/Forum ini terdiri dari berbagai organisasi/instansi yang peduli pada persoalan perempuan. Adapun pemilihan nama forum/aliansi ini sesuai dengan wilayahnya masing-masing. Di Sukoharjo dengan APPM-nya (Aliansi Peduli Perempuan Makmur), di Sragen bernama APPS (Aliansi Peduli Perempuan Sukowati), FPPK (Forum Peduli Perempuan Karanganyar) di Karanganyar, di Klaten disebut APPK (Aliansi Peduli Perempuan Klaten), FPPB (Forum Peduli Perempuan Boyolali) di Boyolali, JP3KS (Jaringan Peduli Persoalan Perempuan Kota Surakarta) di Surakarta/Solo, dan APP Sukses (Aliansi Peduli Perempuan Sukses) di Wonogiri. Selain melibatkan aliansi/forum/jaringan di setiap wilayah dalam pendampingan korban tindak KtP, juga melibatkan lembaga lain yang juga concern terhadap penanganan korban tindak KtP, yaitu Yayasan ATMA, YAPHI, dan KAKAK. Tabel 1. Kasus tindak Kekerasan terhadap Perempuan di Eks. Karesidenan Surakarta per Desember 2005 No. | Wilayah | KDRT | Publik | KDP | Jumlah | 1. | Sukoharjo | 20 | 5 | - | 25 | 2. | Sragen | 14 | 4 | | 18 | 3. | Karanganyar | 15 | 1 | - | 16 | 4. | Klaten | 10 | 3 | - | 13 | 5. | Boyolali | 12 | - | - | 12 | 6. | Surakarta | 5 | - | - | 5 | 7. | Wonogiri | 2 | 1 | 1 | 4 | Jumlah | 78 | 14 | 1 | 93 | Sumber: Catatan Lapangan Pendamping di YKP (diolah) Keterangan: KDP=kekerasan dalam pacaran Dari sejumlah 93 kasus tindak KtP tersebut di atas, terdapat beragam bentuk-bentuk kekerasan yang ditemukan, baik kekerasan secara fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi. - Kekerasan Fisik: ditampar, ditendang, dijambak, dipukuli, dicekik,dilempar pakai besi, dibenturkan ke tembok dan kursi, perut diinjak saat hamil, disundut rokok, mulut dijejali sayur dan nasi.
- Kekerasan Psikis: perempuan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan dalam keluarga (dianggap tidak mampu); suami selingkuh dan bohong; dipaksa melihat suami bersetubuh dengan perempuan lain, suami suka membentak, mencaci maki dan mau menang sendiri; mengharuskan perempuan untuk melakukan sesuai kemauan suami; pembatasan waktu bagi perempuan untuk melakukan kegiatan di luar rumah; diancam dipermalukan di tempat kerja dan dibunuh oleh suami, dituduh sebagai pelacur, pacar tidak mau bertanggung jawab ketika hamil, dipaksa beribadah sesuai keyakinan suami, selalu dipersalahkan oleh mertua, dikeluarkan dari sekolah karena dianggap aib setelah diperkosa, dipersalahkan dan dikucilkan dari pergaulan, dipaksa tutup mulut untuk tidak menceritakan perkosaan yang dialami, membawa perempuan dan anak hasil perselingkuhan ke rumah korban, dihina dengan dikirimi penis buatan oleh suami, dihasut untuk ’menyerahkan’ suaminya kepada perempuan lain.
- Kekerasan Ekonomi: sebagian perempuan anggota merasa ditekan memenuhi kebutuhan keluarga (meski demikian penghasilan yang diperoleh tetap dianggap sebagai pendapatan tambahan); tidak diperbolehkan bekerja ataupun berorganisasi; tidak digaji secara memadai namun pemenuhan kebutuhan rumah tangga menjadi beban perempuan; suami memanipulasi dan menguasai penghasilan yang diperoleh; istri tidak diberi kepercayaan untuk mengelola ekonomi keluarga; tidak ada cuti haid atau melahirkan dalam bekerja.
Setiap bentuk kekerasan yang menimpa perempuan (dan anak) berdampak negatif terhadap perkembangan kehidupan perempuan yang menjadi korban kekerasan. Dampak tersebut yaitu: - Fisik: bibir sobek (dijahit), kepala dijahit, memar, lebam, luka bakar yang parah, sakit sekujur tubuh sehingga tidak bisa beraktivitas.
- Psikis: kecewa, mudah marah sehingga anak yang menjadi sasaran kemarahan, malu, sakit hati pada suami, menderita tekanan batin, depresi, stres, trauma, takut, beban mental dalam mendidik anak, minder dengan ketidakjelasan status pernikahan, sering menangis, mencoba bunuh diri, tidak berani bergaul, takut ketemu laki-laki, susah tidur, ingin bercerai tapi malu dengan status janda, merasa jijik berhubungan seksual dengan suami, anak meniru kata-kata kasar bapaknya, anak menjadi berani pada orang tua, anak menjadi pendiam, mengurung diri, frustasi.
- Kesehatan Reproduksi: luka/lecet, nyeri/sakit di vagina, terjadi perobekan dalam selaput dara, infeksi saluran kemih, pendarahan rahim.
- Ekonomi: ketergantungan secara ekonomi pada suami dan orang tua, tidak terpenuhi kebutuhan ekonomi keluarga/terlantar, terbelit hutang.
Adapun beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya KtP, antara lain: - Budaya patriarkhi, sehingga menempatkan perempuan pada posisi subordinat.
- Relasi yang timpang dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga perempuan tidak punya keberanian untuk melakukan ’perlawanan’ ketika mengalami tindak kekerasan, selain itu juga mengalami ketergantungan secara ekonomi pada suami.
- Pemahaman/penafsiran yang keliru/sempit terhadap ajaran agama, sehingga perempuan harus bersikap ’mengalah’ dan ’menurut’ apa yang menjadi keinginan suami.
- Proses imitasi/peniruan yang dilakukan ketika mengalami atau melihat kekerasan yang terjadi di sekitarnya, suami yang orang tuanya broken home cenderung melakukan tindak kekerasan terhadap istri dan anaknya.
Faktor-faktor tersebut menyebabkan perempuan mengalami keterbatasan dalam akses terhadap sumber daya dan pengambilan keputusan. Akibatnya perempuan menjadi rentan terhadap tindak kekerasan. Korban tindak KtP adalah istri (lingkup rumah tangga) dan anak perempuan (lingkup komunitas/publik) dengan tidak mengenal tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan/status ekonomi. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa korban tindak kekerasan menimpa perempuan dan anak perempuan yang berpendidikan Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi (S1). Selain itu juga terjadi tidak saja pada ibu rumah tangga, tetapi juga PNS, guru, perempuan usaha kecil-mikro, dan jenis pekerjaan lainnya. Terkait dengan pelaku tindak KtP, juga tidak mengenal usia, tingkat pendidikan, maupun jenis pekerjaan. Mengingat pelaku juga ada yang masih anak (kurang dari 18 tahun) dan orang dewasa/tua dengan tingkat pendidikan dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi (S1, S2). Adapun jenis pekerjaannya pun juga beragam, dari buruh, petani, wairaswasta, pedagang, tukang ojek, sopir, preman, pengamen sampai PNS, TNI. Namun, pelaku tindak KtP juga ada yang tidak bekerja. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa persoalan KtP bersifat universal , karena terjadi di semua wilayah, baik di ranah domestik (pribadi/rumah tangga), maupun publik, serta dalam kondisi ekonomi dan tingkat pendidikan apapun. III. Bentuk Pendampingan/Layanan Yayasan Krida Paramita (YKP) bersama-sama dengan aliansi/forum peduli perempuan di berbagai wilayah mengembangkan women crisis center yang berbasis komunitas/masyarakat. Adapun nama yang dipakai oleh aliansi/forum menggunakan istilah Pusat Pelayanan dan Penanganan Persoalan Perempuan (P4 Perempuan). Pelayanan berbasis masyarakat/komunitas ini adalah layanan yang dilakukan oleh organisasi/individu di dalam komunitas korban. Pelayanan ini mendorong partisipasi masyarakat untuk lebih aktif dalam menangani kasus-kasus KtP di masyarakat dan upaya-upaya pencegahannya. Mengingat kasus KtP merupakan fenomena ’gunung es’, artinya KtP banyak terjadi di masyarakat, namun yang terungkap hanya sedikit. Untuk itu, pelayanan model ini lambat laun mampu melelehkan dan mengungkap kekerasan sebagai fenomena gunung es. Bentuk pendampingan/layanan yang telah diberikan kepada korban tindak KtP, yaitu: - Konseling terhadap korban dan keluarganya (baik dilakukan oleh kader maupun pendamping atau pun merujuk kepada lembaga/organisasi lain yang concern terhadap penanganan korban KtPA, seperti Yayasan KAKAK).
- Pendampingan dalam proses hukum (dilakukan oleh kader bersama pendamping dan LBH ATMA/YAPHI).
Sedangkan manfaat pendampingan, adalah korban memperoleh tempat untuk menumpahkan perasaan, kecemasan, kebingungan, kekhawatiran dan ketakutannya. Korban diharapkan memperoleh keberanian sampai ia dapat mengambil keputusan sendiri untuk menentukan tindakan yang akan dilakukannya. IV. Penutup Demikian makalah ini disampaikan sebagai pengantar dalam lokakarya ini. Mengingat banyaknya korban KtP yang masih belum tertangani dan mendapatkan perlindungan dengan semestinya, maka berelasi dan jejaring dengan berbagai pihak sangat diperlukan. Semua itu dilakukan dalam kerangka memberikan layanan yang berpihak pada korban dan pencegahan terhadap terjadinya KtP. 1. Disampaikan dalam Semiloka Promosi Hak Asasi Perempuan (HAP) kepada Penegak Hukum se-Eks. Karesidenan Surakarta diselenggarakan oleh Yayasan Krida Paramita (YKP) – Solo bekerja sama dengan Kementrian Pemberdayaan Perempuan RI, Komnas Perempuan, dan NZAID pada 27 Desember 2005 di Hotel Sahid Kusuma, Solo.
2. Nurul Sutarti adalah Koordinator Pengorganisasian atau Jaringan pada Yayasan Krida Paramita (YKP) Surakarta dan Team Leader Program Penguatan Jaringan Kerja Kelompok Perempuan menuju Masyarakat Sipil (Jaker-Permas) di 9 Kabupaten / Kota di Jawa Tengah. | |